Suku Minangkabau atau Minang adalah
kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau.
Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh,
dan juga Negeri Sembilandi Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang sering
kali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota propinsi Sumatera Barat
yaitu kota Padang. Hal ini dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa beberapa
literatur Belanda juga telah menyebut masyarakat suku ini sebagai Padangsche
Bovenlanden.
Suku ini mempunyai sifat merantau yang boleh dikatakan telah menyatu dalam pola
hidup mereka sehingga banyak di antara mereka pindah ke pulau-pulau lain di
Indonesia. Suku Minangkabau merupakan suku terbesar ke 4 di Indonesia yang
tersebar luas dan sangat berpengaruh.
Etimologi
Nama
Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan
suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut,
konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai
Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah
pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan
asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif,
sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam
pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah
induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk
hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu
menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal
dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini
juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa
kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman)
menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga
digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak
di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat. Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama
tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu
dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan
nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan
dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Dalam
prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta
Hyang bertolak dari "Minānga". Beberapa ahli yang merujuk dari sumber
prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minānga) dan ke-5 (tāmvan....) sebenarnya
tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai
kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua
sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan.
Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa
"tāmvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata
temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya
yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan
penyebutan Minang itu sendiri.
Asal-usul
Dari tambo
yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka
berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun
secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung
kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun
demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus
Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus
wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain
tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro
Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat
ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai
ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang
Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi
yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak
nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah
Datar. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, daerah luhak ini menjadi daerah
teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen
dan oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta
membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep rantau bagi
masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam
Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan
perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas
Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir
barat).
Pada awalnya
penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad
ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal
yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu
umumnya. Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus
penduduk maupun politik.
Agama
Suku
Minangkabau merupakan kaum muslim yang taat menjalankan ke 5 rukun Islam di
Indonesia. Ada satu pepatah Minangkabau yang berkata "Menjadi orang
Minangkabau adalah menjadi Islam." Mereka yang beralih ke agama lain akan
diusir dan kehilangan mata pencaharian.
Sebuah masjid di
kecamatan Pangkalan Koto Baru, kabupaten Lima Puluh Kota dengan arsitektur khas
Minangkabau sekitar tahun 1900-an.
Adat dan Budaya
Menurut
tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang
bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk
Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk
Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam
perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi
mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam
masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik
mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling
melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat
Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat
dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
Matrilineal
Matrilineal
merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat
Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai
pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang
dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayahmereka disebut oleh masyarakat
dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang
istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam
menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum
lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu),
dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan
Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah). Walau
kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum
lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas
atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang
walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang
diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Pada
setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta
pusaka—yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh dalam
Islam—hanya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan pula
kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam
disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam
diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di luar
Minang sekalipun dan mulai mengenal sistem patrilineal.
Bahasa
Bahasa
Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada
perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu,
ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari
dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di
dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa
mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa
Minangkabau merupakan bahasa proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur
bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung
kepada daerahnya masing-masing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang
umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta
dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis
menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi.
Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya
menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
Meskipun memiliki bahasa sendiri orang Minang juga
menggunakan Bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas.
Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa
Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku
Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di
sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun
kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato
di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah
Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau
mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan
juga digunakan di wilayah Johor, Malaya. Namun kenyataannya bahasa yang
digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh
bahasa Minangkabau.
Guru-guru dan
penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi.
Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di
Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam
masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi
percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi
bahasa Indonesia itu.
Kesenian
Masyarakat
Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian
yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara
tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan
bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada
tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk
tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada
telapak tangan
masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh
talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri
tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula
tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa
diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini
juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni
berkata-kata. Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan),
indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih
mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme.
Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan
harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
Olahraga
Pacuan
kuda merupakan olah raga berkuda yang telah lama ada di nagari-nagari Minang,
dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh masyarakatnya, serta menjadi
perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan yang memiliki lapangan pacuan
kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya yang masih dilestarikan dan
menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain lomba Pacu jawi dan Pacu
itik.
Rumah Adat
Rumah adat
Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas
sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun.
Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua
bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti
bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau
yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum
berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan
dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi
milik keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak
yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah
beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah,
biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah
gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai
tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Selain itu
dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang,
hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh
ditegakkan.
Perkawinan
Dalam adat
budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam
siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam
membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang,
perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak
keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu
proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
Dalam
prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa
tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik
marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di
pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan
hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang
biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan.
Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi,
mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama
kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru
tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau
sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo
puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
Masakan Khas
Masyarakat
Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan citarasa yang pedas, serta
dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri.
Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Masakan Padang, meskipun
begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang secara umum. Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang,
pada tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar
World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh
CNN International.
Persukuan
Suku dalam
tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial,
sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata
suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika
dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna
apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut.
Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang
sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang
sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari
unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta,
dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta
pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota
kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat
menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk
melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga
yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat
digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang
lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil
setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada
sebuah rumah gadang secara bersama-sama.
Nagari
Daerah
Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom
dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan
politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang
berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari
dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang
ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan
peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau
adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan
individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala
kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari
kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling
tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal
dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu
Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari,
Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan
Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian
berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian
berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah
terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut. Selanjutnya sebagai
pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus
sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di
nagari tersebut.
Penghulu
Penghulu
atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang
diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu
biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki
lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang laki-laki yang pandai
berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki posisi ini. Hal ini
dikarenakan ia bertanggung jawab mengurusi semua harta pusaka kaum, membimbing
kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu
berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari
semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan
dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi
kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang
semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada
keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah
penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat
nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan
berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya
yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga
tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.
Kerajaan
Dalam
laporan de Stuers kepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah
pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat
dibawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagari-nagari kecil yang mirip
dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun dari beberapa
prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo
yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu
sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan
bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah
Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan
Inderapura.
Sistem
kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan
komunitas masyarakat Minang yang cukup signifikan. Pada awalnya masyarakat
Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk
menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti
yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
Istana Pagaruyung
sebuah legitimasi institusi kerajaan Minangkabau.
Minangkabau Perantauan
Minangkabau perantauan merupakan istilah untuk orang Minang yang hidup
di luar kampung halamannya. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat
Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan
pengalaman dan geografis, dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu
nasib di negeri orang. Keluarga yang telah lama memiliki tradisi merantau,
biasanya mempunyai saudara di hampir semua kota utama di Indonesia dan
Malaysia. Keluarga yang paling kuat dalam mengembangkan tradisi merantau
biasanya datang dari keluarga pedagang-pengrajin dan penuntut ilmu agama.
Para perantau biasanya telah pergi merantau sejak usia
belasan tahun, baik sebagai pedagang ataupun penuntut ilmu. Bagi sebagian besar
masyarakat Minangkabau, merantau merupakan sebuah cara yang ideal untuk
mencapai kematangan dan kesuksesan. Dengan merantau tidak hanya harta kekayaan
dan ilmu pengetahuan yang didapat, namun juga prestise dan kehormatan individu
di tengah-tengah lingkungan adat.
Dari pencarian yang diperoleh, para perantau biasanya
mengirimkan sebagian hasilnya ke kampung halaman untuk kemudian diinvestasikan
dalam usaha keluarga, yakni dengan memperluas kepemilikan sawah, memegang
kendali pengolahan lahan, atau menjemput sawah-sawah yang tergadai. Uang dari
para perantau biasanya juga dipergunakan untuk memperbaiki sarana-sarana
nagari, seperti mesjid, jalan, ataupun pematang sawah.
Daftar Suku
Minangkabau
Seperti
etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang disebut dengan
istilah suku. Menurut tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya
Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya
ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah.
- Suku Koto
- Suku Piliang
- Suku Bodi
- Suku Caniago
Sedangkan kelarasan yang dimaksud adalah kelarasan koto
piliang dan kelarasan bodi caniago, kelarasan disini semacam sistem kekuasaan,
dan dalam perkembangannya kelarasan koto piliang cendrung kepada sistem
aristokrat sedangkan kelarasan bodi caniago lebih kepada sistem konfederasi.
Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk
tersebut, dapat dikatakan kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta,
sebagai contoh koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang
berasal dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan, bodi
berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago berasal
dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.
Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk,
nama-nama suku tersebut tentu berasal dari bahasa Sanskerta dengan pengaruh
agama Hindu dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan
berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena perkembangan bahasa
minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam dan pendatang-pendatang asing
yang tinggal menetap bersama.
Suku-suku dalam Minangkabau pada awalnya kemungkinan
ditentukan oleh raja Pagaruyung, namun sejak berakhirnya kerajaan Pagaruyung
tidak ada lagi muncul suku-suku baru di Minangkabau. Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia,
membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau.
Sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minang
- http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_suku_Minangkabau
- http://www.scribd.com/doc/29358769/Suku-Minangkabau
- http://www.sabda.org/misi/profilo_isi.php?id=48
- http://www.scribd.com/doc/29358769/Suku-Minangkabau
- http://www.sabda.org/misi/profilo_isi.php?id=48
Mantap gan!
ReplyDeleteBangga sya mmbacany sebagai orng mnang ..